Lebih Murah, Praktis, dan Bersih, dengan Biotoilet ~ Educational Technology Resources
Your Ad Here






Sunday, November 18, 2007

Lebih Murah, Praktis, dan Bersih, dengan Biotoilet


Almere Poort HDR
Originally uploaded by Gerbren.nl
Biotoilet kini bisa dikembangkan secara sederhana untuk skala rumah tangga dengan menggunakan serbuk gergaji. Selain harganya lebih murah,juga bisa dimanfaatkan sebagai pupuk kompos.

Bagi masyarakat yang tinggal di wilayah padat penduduk dan sulit mendapatkan air bersih,tidak ada salahnya memanfaatkan teknologi biotoilet karya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Biotoilet merupakan toilet kering, tidak berbau, hanya membutuhkan ruangan 0,5 meter,dan harga membuatnya murah. Selain itu, sisa buangan kotoran bisa bermanfaat sebagai kompos untuk menyuburkan tanaman. Peneliti Fisika Lingkungan LIPI Sinta Neniwardani menyatakan, setelah sukses melakukan uji coba biotoilet di kompleks Pondok Pesantren Daarut Tauhid Bandung, kini proyek percontohan selanjutnya dilakukan di kompleks perumahan kumuh di Kiaracondong, Bandung.

Daerah wilayah Kiaracondong dipilih karena dengan luas yang relatif kecil sekitar 2 km persegi,tapi memiliki penduduk yang padat sekitar 30.000 jiwa. Karena itu,kompleks perumahan Kiaraconding cocok dijadikan laboratorium hidup untuk menguji biotoilet. ’’Kiaracondong merupakan wilayah padat, kering, dan sulit mendapatkan air bersih. Dengan segala keterbatasan yang ada,kami memilihnya sebagai pilot project yang semoga nantinya bisa ditiru daerah lain,” papar Neni ketika dihubungi SINDO.

Nini menjelaskan,butuh waktu sekitar tiga tahun untuk melakukan pendekatan kepada masyarakat dan memperkenalkan biotoilet tersebut. Sebab,masyarakat masih awam dan belum paham bahwa biotoilet bisa menjadi salah satu alternatif sanitasi yang ramah lingkungan sekaligus berwawasan ekologi.

Di beberapa titik Kiaracondong, banyak sekali terdapat WC umum yang suatu saat pasti bisa penuh dan tentu saja tak efektif untuk area perkampungan dengan lahan sempit. Selain itu, limbah biotoilet jelas bisa dimanfaatkan sebagai kompos yang bisa digunakan masyarakat setempat untuk menyuburkan tanahnya untuk bercocok tanam.

’’Masyarakat setempat benarbenar kami libatkan untuk membangun biotoilet ini. Awalnya,mereka tidak memberikan respons, tapi kini mereka mulai menyadari pentingnya toilet yang menghemat penggunaan air bersih ini,”paparnya.

Berdasarkan catatan Organisasi Toilet Dunia (World Toilet Organization/ WTO),rata-rata setiap orang pergi ke toilet 2.500 kali per tahun atau sekitar 6–8 kali per hari. Itu artinya, selama tiga tahun dari masa hidup manusia dihabiskan di toilet. Jika selalu menggunakan toilet konvensional, lama-lama tabung septic tank akan penuh.

Akhirnya, tidak ada lagi lokasi yang bisa digali yang bisa digunakan sebagai tabung septic tank. Untuk itulah dibutuhkan sebuah kreasi biotoilet yang tidak hanya berwawasan memanfaatkan lahan, juga mengubahnya menjadi investasi yang menghasilkan.

Menurut Nini, biotoilet merupakan desain toilet sistem kering yang mempergunakan matriks serbuk kayu sebagai media penangkap dan pengurai tinja dan urine. Tidak hanya itu, limbah dapur sisa makanan juga bisa diolah di sini untuk menjadi kompos. Ciri khas dari desain itu adalah tidak menggunakan air untuk menggelontor kotoran.

Sebab, itu langsung ditampung dalam tempat pengolah untuk ukuran tabung biotoilet 0,5 meter kubik dengan kapasitas 30–50 orang per hari.Setelah itu, serbuk kayu lama dapat diganti dengan serbuk baru dalam jangka waktu 3–4 bulan. Serbuk gergaji ini dapat dimanfaatkan sebagai media kompos tanaman.

Menurut Neni, biotoilet bisa digunakan sebagai WC yang ramah lingkungan yang cocok dibangun di daerah dengan kondisi sistem sanitasi yang belum memadai,kondisi lingkungan yang buruk, keterbatasan lahan, ketiadaan saluran buangan air kotor, dan kurangnya air bersih. Keuntungan secara teknis maupun teknis dari teknologi sederhana ini tidak menggunakan air.

Dengan demikian,menghemat pemakaian air bersih dan dapat langsung mengurai kotoran manusia. Berdasarkan penelitian LIPI, biotoilet ini mampu mengurai 60 persen feses manusia dalam 1 hari. Selain itu, toilet kering ini tidak menebarkan bau layaknya septic tank biasa, tidak memerlukan saluran pembuangan khusus, dan dapat digabungkan menjadi alat pengolah sampah dapur.

Bentuknya yang sederhana mudah dikonstruksikan dengan bahan yang mudah didapat. Tabung biotoilet dirancang dari bahan stainless steel yang tahan selama tiga tahun, yang tentu saja mencegah kebocoran dan tidak berkarat.

’’Jika dibuat secara massal, mungkin biaya yang dibutuhkan hanya sekitar Rp5 juta–Rp10 juta. Namun,hingga saat ini,kami masih mengembangkan konsep biotoilet sebagai WC umum, belum sebagai WC rumahkan. Akan sulit sekali mengajak partisipasi masyarakat yang berkecukupan untuk menggunakan toilet ini. Mereka lebih cenderung memilih toilet air, mempertimbangkan budaya, dan kepercayaan agama,”jelasnya.

Neni mengisahkan, awal ide dari pembuatan biotoilet berdasarkan pengamatan bahwa mayoritas penduduk Indonesia di wilayah pedesaan menggunakan cubluk sebagai toilet. Dengan hanya menggali sebuah lubang,kemudian bisa ditutup kembali dengan tanah ketika sudah penuh.

Sementara itu, biotoilet modifikasi LIPI ini merupakan toilet kering yang portabel bisa dipindah ke mana-mana. Desain WC kering rekayasa LIPI ini memiliki bentuk sederhana. Dari luar,WC kering LIPI ini mirip sebagai tempat kerja.Menurut dia,selain Indonesia, Jepang dan Skandinavia juga telah mengembangkan teknologi serupa.

Bagian penting biotoilet,antara lain lubang WC (duduk/jongkok), lubang aerasi udara, serbuk gergaji (bisa kayu atau bahan organik lain) yang digunakan sebanyak tiga perempat tabung penampungan, pemanas (bila diperlukan), pengaduk dengan menggunakan motor penggerak.

’’Sudah sejak dua bulan lalu,akhirnya masyarakat wilayah Kiaracondong mulai menggunakan biotoilet ini.Meskipun akhirnya secara perlahan, demi mendapatkan partisipasi masyarakat, kami pun menggunakan sedikit air dengan menggunakan shower sehingga air yang digunakan tidak terlalu banyak. Sebab, kalau terlalu basah, fungsi pengurai tidak akan berjalan dan tabung penampung akan cepat penuh,”paparnya.

Nini menambahkan, hambatan terbesar dalam penerapan biotoilet ini adalah soal budaya masyarakat. Bagaimana meminta masyarakat untuk membiarkan toilet ini tetap kering. Jika ingin cebok,bisa dilakukan di luar toilet. Namun, karena tuntutan budaya, kebanyakan masyarakat enggan melakukan hal itu. Kini, Departemen Pekerjaan Umum (PU) berencana menerapkan biotoilet di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) yang sulit mendapatkan akses air bersih. (abdul malik)

Sumber : Seputar Indonesia (20 Oktober 2007)

0 comments: